Senin, 03 April 2017

Radikalisme Sekuler Membahayakan NKRI



Pernyataan KH. Ma’aruf Amin  di republika online senin 27 maret 2017 menarik digarisbawahi beliau mengatakan radikalise Agama dan Radikalisme sekuler adalah ancaman serius bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila.radikalisme agama selama ini sudah banyak dibahas. Bahkan Negara telah membentuk badan khusus bernaman Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) dan dilengkapi dengan sebuah detasemen khusus bernama detasemen khusus 88 (Densus 88) sayangnya Negara tidak mewaspadai bahaya radikalise sekuler yang juga bertentangan dengan idiologi Negara Pancasila. Sampai saat ini tidak ada aparat Negara yang berteriyak keras tentang perlunya mewaspadai bahaya radikalisme sekuler yang merebak di Indonesia. Tidak ada dibentuk badan khusus untuk penagulangan bahaya sekulerisme tidak ada detasemen khusus ditugaskan untuk itu.

Gagasan sekularisme (pemisahan agama dari Aturan Kehidupan baik bernegara maupun yang lainya) pertama kali muncul di Barat sebagai kritik terhadap dominasi Gereja pada Abad Pertengahan. Ketika itu Gereja Kristen menjadi institusi dominan. Dengan pembentukan Sistem Kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan; khususnya aspek politik, sosial dan pemikiran (Idris, 1991: 75-80; Ulwan, 1996: 73). Dominasi ini ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan melalui persekongkolan Gereja dan raja/kaisar; mengakibatkan kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Kemudian muncul upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531) dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan kemunculan para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592). Mereka menentang dominasi Gereja, menghendaki agama disingkirkan dari kehidupan dan menuntut kebebasan. Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778) dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah terjadinya perang selama 30 tahun, yang diakhiri dengan adanya Perjanjian Westphali 1846. Melalui perjanjian ini, akhirnya secara total Gereja dipisahkan dari masyarakat, negara dan politik (Qashash, 1995: 30-31). Sejak itulah lahir sekularisme yang menjadi dasar ideologi dan peradaban Barat.

Harvey cox, seorang pakar sekulerisme merumuskan tiga pilar sekulerisme yaitu: 1.Dischanment of Nature kehidupan dunia harus disetrilkan dari pengaruh ruhani dan Agama.sekuler liberal membatasi peran agama hanya menagani persoalan personal,agama hanya cukup sampai didinding masjid atau gereja. Diluar itu akal manusialah tuhanya.sekuler radikal akan menyingkirkan agama dari kehidupan.
2.Desacralization of Politics artinya dunia politik harus dikosongkan dari pengaruh agama dan nilai spiritual,politik semata urusan akal manusia,agama dan segala simbolnya dilarang terlibat dalam urusan politik, agama sendiri politik sendiri keduanya tidak bisa disatukan. 3.Desconsecration of Values masudnya tidak ada kebenaran mutlak. Nilai-nilai bersifat relatif. Doktrin ini menisbahkan kebenaran yang ada dalam kitab suci, bagi mereka kitab suci hanya buatan manusia,oleh karena itu penganut paham ini suka mengolok-ngolok kitab suci mereka sendiri,termasuk kitab suci yang lain.
Sekularisme di Indonesia
Sekularisme masuk ke Indonesia secara paksa melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekuler telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan, bahwa Pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama (Suminto, 1986: 27).
Prinsip sekuler dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada Pemerintah Kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan Pemerintah Kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah: (1) dalam bidang ibadah murni, Pemerintah hendaknya memberikan kebebasan sepanjang tidak mengganggu kekuasaan Pemerintah Belanda; (2) dalam bidang kemasyarakatan, Pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, Pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam (Suminto, 1986: 12).
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekuler yang ditanamkan penjajah. Sayang sekali, ini tidak terjadi. Revolusi Kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rejim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tetapi ideologi tetap sekuler.
Sekularisme Pangkal Kerusakan
Sebagai warisan penjajah Barat, sekularisme merupakan paham yang rusak karena jelas-jelas menolak peran agama  dalam pengaturan kehidupan, khususnya politik. Di bidang politik, sekularisme merusak karena melenyapkan aspek spiritual (nâhiyah rûhiyah) dalam politik dan hanya menonjolkan pertimbangan materi. Akibatnya, kekuasaan pun hanya dijadikan alat untuk meraih keuntungan materi, bukan untuk melayani kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka, sebagaimana dalam ajaran agama perintahkan.(Islam).

Dalam politik sekuler, kebebasan hanya menjadi alat pembenaran berbagai perilaku maksiat. Sebaliknya, tidak ada kebebasan untuk taat dalam menerapkan ajaran agama   sekuler juga mencetuskan pemimpin-pemimpin yang menipu rakyat dengan dalih kedaulatan di tangan Rakyat. Faktanya, pemilik modallah yang mengendalikan para penguasa dan wakil rakyat. Akibatnya, para penguasa dan wakil rakyat sering abai terhadap rakyat. Mereka lebih banyak memperkaya diri dengan perilakunya yang koruptif, tak peduli urusan rakyat.dan memikirkan para pemilik modal.

Sekularisme di bidang ekonomi didasarkan pada asas kebebasan, meliputi kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta dan kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini tidak layak karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi, misalnya, dianggap menguntungkan meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi keluarga. Sistem perbankan ribawi, sistem perusahaan kapitalisme  dan sistem uang kertas (fiat money) melahirkan berbagai krisis ekonomi dan moneter. Sistem ini dibangun tanpa mengindahkan sama sekali aturan Agama.

Di bidang sosial sekularisme menyebabkan kerusakan moral. Wanita, misalnya, hanya dianggap komoditas dagang dan pemuas nafsu laki-laki semata. Perselingkuhan dianggap “pertemanan”, sementara poligami justru dianggap perbuatan kriminal. Sistem sosial yang bobrok seperti ini telah terbukti menghancurkan institusi keluarga, menyebarkan penyakit kelamin, menimbulkan kebejatan moral dan melahirkan anak-anak hasil zina.

Sekulerisme juag menyuburkan perilaku menyimpang seperti Pedofelia, LGBT, pergaulan bebas, Narkoba dan pergaulan-pergaulan yang tidak manusiawi yang disebabkan dijauhkanya masyarankat dari pemahaman agama Jika hal ini dibiarkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan sangat mudah dihancurkan tampa harus mengunakan senjata, sebab dengan sekulerisme anak bangasa akan diadu dengan anak bangsa mereka akan saling berebut kekuasanaan saling tikam saling ancam dan saling bunuh sesama anak bangsa.Jangan abaikan masalah ini kalau kita cinta negeri kita.


EmoticonEmoticon